Status Jakarta sebagai ibu kota negara segera dicabut. Kini, pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang dikebut. Kelak, setelah tak lagi jadi ibu kota negara, Jakarta akan dirancang sebagai kota bisnis. Namun, Jakarta tetap akan menjadi pusat siapa berebut kuasa.
Pemerintah, DPR, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mulai pembahasan RUU DKJ pada Rabu (13/3/2024) lalu. Pembahasannya dikebut sehingga ditargetkan pada 4 April 2024 sudah disahkan sebagai UU DKJ.
Banyak pasal krusial dan kontroversial dalam RUU DKJ ini. Ada sejumlah isu sensitif dalam RUU DKJ ini. Yang pertama, tentu, wacana Gubernur Jakarta akan dipilih dan ditetapkan oleh Presiden, bukan dipilih oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti selama ini.
Isu sensitif itu tertuang dalam draf RUU DKJ. Pada pasal 10 ayat (2) RUU DKJ, disebutkan bahwa “Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.” Gubernur dan Wakil Gubernur DKJ akan menjabat selama lima tahun, dan setelahnya bisa diangkat lagi untuk satu periode. Jika Gubernur dan Wakil Gubernur ditunjuk Presiden, maka Wali Kota dan Bupati di wilayah Jakarta akan ditunjuk oleh Gubernur.
Artinya, jika rumusan tersebut disetujui, praktis di Jakarta tidak akan ada lagi Pilkada. Semua serba ditunjuk. Namun, wacana itu segera menuai perdebatan dan banyak kalangan menilai sebagai kemunduran demokrasi atau pengeberian hak-hak rakyat. Sejumlah fraksi di DPR RI akhirnya secara tegas juga menolak hal tersebut. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, terang-terangan menolak wacana Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden.
Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay, mengatakan, fraksinya akan mengusulkan agar Gubernur Jakarta tetap dipilih melalui Pilkada, bukan ditunjuk oleh Presiden. Bahkan, Saleh malah meminta agar Pilkada tingkat kabupaten/kota di Jakarta diselenggarakan. Selama ini, wali kota dan bupati di Jakarta dipilih gubernur.
“PAN mengusulkan agar proses demokrasi di Jakarta dilaksanakan dengan Pilkada provinsi dan Pilkada di tingkat kabupaten/kota secara langsung dan pemilu legislatif dilaksanakan untuk DPRD provinsi dan DPRD masing-masing kota administratif yang ada,” ujar Saleh kepada wartawan, Kamis (7/12/2023).
Hal yang sama disuarakan Wakil Ketua Majelis Syura PKS Hidayat Nur Wahid. Meski berstatus daerah khusus, menurutnya, Gubernur Jakarta harus dipilih melalui Pilkada seperti halnya di Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Daerah Otonomi Khusus Papua. Termasuk untuk wali kota dan bupati, PKS akan mengusulkan dipilih melalui Pilkada, bukan ditunjuk gubernur seperti selama ini.
“Jadi kalau Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota, kenapa tidak kemudian Pasal 18 UUD 1945 di mana gubernur, wali kota, bupati dipilih secara demokratis dan ada UU Pilkada kenapa diberlakukan di Jakarta. Ini tuntutan keadilan yang perlu dikemukakan,” ujar Hidayat seperti dikutip Kompas Kamis (7/3/2024).
Meskipun wacana tersebut semula datang dari istana, namun sikap ternyata berbeda dengan draf RUU DKJ tersebut. Hal tersebut diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat kerja dengan Badan Legislatif (Baleg). “Isu pemilihan gubernur dan wakil gubernur, sikap pemerintah tegas, tetap pada posisi dipilih atau tidak berubah sesuai dengan yang sudah dilaksanakan saat ini. Bukan ditunjuk, sekali lagi, karena dari awal draf, isinya sama dipilih, bukan ditunjuk,” ungkapnya.
Namun demikian, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas yang juga merupakan politikus Partai Gerindra, menekankan, apakah Gubernur DKJakarta nantinya akan masih ditunjuk Presiden atau dipilih melalui Pilkada masih akan tergantung pada keputusan bersama fraksi-fraksi di DPR.
“Pasti yang akan menentukan itu setuju atau tidak adalah fraksi-fraksi yang ada di Badan Legislasi. Saya akan tanya satu-satu, setuju atau tidak dengan pemerintah. Kalau mereka setuju, ya syukur, kalau tak setuju, ada debat lagi mekanismenya,” ucap Supratman.
Selain soal itu, isu menarik lainnya adalah pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi. Sebab, setelah tidak menjadi ibu kota negara, Jakarta akan dirancang sebagai Kota Arglomerasi, pusat bisnis bersama kota-kota satelit di sekitarnya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.
Untuk itu, akan dibentuk Dewan Kawasan Aglomerasi, dengan tugas dan fungsi seperti Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Papua. Dalam draf RUU DKJ disebutkan, Dewan Kawasan Aglomerasi bertugas untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi serta mengoordinasikan, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Dewan Kawasan Aglomerasi ini akan dibentuk dengan Peraturan Presiden. Selain itu, Dewan ini juga akan dipimpin langsung Wakil Presiden. Dengan demikian, praktis pengembangan Jakarta sebagai Kota Aglomerasi akan dikendalikan oleh pemerintah pusat, meskipun pelaksanaannya berada di pemerintah daerah masing-masing. Artinya, perebutan kekuasaan di Jakarta tidak hanya dilakukan melalui Pilkada untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, melainkan juga melalui pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi ini.
Pasal-pasal krusial dan kontroversial itulah yang mendorong kelompok-kelompok kritis bersuara. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta, misalnya, menyebut pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi dalam RUU DKJ sarat muatan nepotisme karena dipilih langsung pemerintah pusat dan dibawahi oleh Wakil Presiden.
“Proses ini hanya mengulangi pola buruk yang telah terjadi dalam sejumlah kebijakan sebelumnya, seperti pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung dalam keterangan resmi, Jumat (15/3/2024).
Selain itu, Walhi juga menilai RUU DKJ menjadi prejudice buruk bagi demokrasi, menindas hak politik warga Jakarta, serta disebut bisa mengancam kepentingan kelompok rentan karena tidak bisa memilih secara langsung kepala daerah jika usulan gubernur ditunjuk Presiden disetujui dan disahkan menjadi UU.
“Ini tentu akan merusak semangat negara demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kuasa tertinggi. Pasal tersebut juga berpotensi merusak prinsip otonomi daerah dan desentralisasi sebagaimana mandat dan agenda reformasi,” ucap Suci.
Khusus soal Dewan Kawasan Aglomerasi, Walhi menilai sarat muatan nepotisme karena dipilih langsung pemerintah pusat dan dibawahi oleh Wakil Presiden. “RUU DKJ sarat muatan nepotisme. Siapa yang akan memimpin Indonesia akan berkuasa di Jakarta dan daerah di wilayah aglomerasinya. Hal itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat,” ujar Suci.