Suara-suara Kekuasaan

Oleh Taufiq Wr. Hidayat*

Kekuasaan—sejatinya, tak pernah utuh. Dan aslinya, tak pernah kokoh. Lantaran ia dipegang dan dikendalikan makhluk bernama manusia. Pun ia, selalu membutuhkan legitimasi atau pengakuan-pengakuan. Tanpa pengakuan, suatu kekuasaan tak pernah jadi, juga tak pernah digdaya. Setiap yang butuh pengakuan dan penghormatan, pastilah sesungguhnya lemah dan rapuh. Tak pernah mandiri. Ia senantiasa ingin diawetkan, dikekalkan, diabsolutkan. Tapi tak pernah bisa, sebab “habitatnya” dalam perubahan-perubahan. Ia tak bisa mengelak dari keniscayaan kefanaan yang mengharuskan pergantian-pergantian, kesementraan, tenggat waktu.

Mempertahankan, ambisi, dan khayalan kekuasaan selalu mencipta delusi. Dalam perhelatannya yang seru dan menegangkan—bahkan mengerikan, orang tak pernah mau kalah. Keharusan menang membuatnya bertarung sejadi-jadinya, dengan segala cara, dengan segala daya upaya, memperbanyak dan menguatkan persekongkolan demi persekongkolan. Dan tak pernah ada yang sungguh-sungguh siap kalah. Apalagi mengalah.

Delusi kemenangan seringkali jadi penyakit bagi yang kalah, atau dikalahkan. Ia menciptakan suatu keadaan yang—di dalam keadaan tersebut, mengandaikan dirinya adalah yang menang. Atau berkuasa. Bagi yang kalah, kemenangan dan kek iniuasaan itu palsu. Seolah-olah. Ia tak mau menerima kekalahan dengan memberikan pengakuan bagi pemenang. Sehingga kekalahan yang dideritanya, semakin tragis. Ambisinya menyusun keseolah-olahan. Orang mengobati kegagalannya pada kekuasaan dengan menebarkan dan meyakinkan diri—juga orang lain, bahwa dirinya telah dicurangi atau diperlakukan tidak fair dan tak adil.

Dan agaknya sudah menjadi “kebiasaan sejarah” yang tak menyenangkan, bahwa kecurangan tak pernah bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan di atas meja pengadilan guna menegakkan keadilan di hadapan semua orang, sehingga hakim membatalkan hasil pertandingan. Hukum bagai lumpuh menghadapi pelanggaran demi pelanggaran yang dirayakan banyak orang dan banyak kekuatan. Sejarah tak pernah membuktikan kecurangan Sengkuni di atas meja judi. Padahal tipu muslihat dan pelanggarannya sangat jelas, tampak, dan terang-terangan. Pelanggaran yang menantang dan mengancam siapa saja yang hendak membongkarnya. Hukum seribu dewa pun, lumpuh. Lumpuh di hadapan suatu kejahatan yang diselenggarakan beramai-ramai oleh 100 Kurawa berserta segenap kekuasaannya. Manipulasi dan ketegaan Sengkuni, tak pernah menjadi perbincangan hukum dan perundangan. Melainkan cuma jadi tema obrolan moral dan etika selepas makan siang, dalam khotbah dan ribuan nasehat, yang menyematkan kutuk dan caci maki, tanpa jalan keluar.

Tetapi bagi yang menang, baik ia menang secara jujur maupun penuh kecurangan, kebohongan, dan pelanggaran—pada puncaknya, kekuasaan yang berhasil diraih dan ambisi mempertahankannya, selalu menyisakan satu hal: kesangsian. Ia sangsi dan merasakan seperti yang dirasakan mereka yang kalah, yakni keadaan memang tak pernah selalu baik-baik saja. Ia meragukan kesetiaan para penyokongnya, mencurigai dan mewaspadai adanya para pengkhianat. Padahal pengkhianat dan pahlawan—dalam politik, adalah niscaya. Dan keadaan—sebagus dan seburuk apa pun, sebenarnya sebentuk manipulasi. Karena dalam wilayah perebutan kekuasaan itu, keadaan memang tak pernah baik. Ia berangkat dari suatu kondisi yang tak wajar, bahwa yang satu memendam nafsu mengalahkan—bahkan mungkin, memusnahkan yang lain. Orang-orang tak berdaya—atau mereka yang dikuasai, selalu jadi tumbal, dimiskinkan, dan bahan bakar bagi dapur penguasa modal yang melakukan persekongkolan jahat dengan penguasa politik.

Dan dalam kepastiannya, kekuasaan memang selalu melahirkan pengkhianat. Tatkala berada dalam semangat hebat, siapa saja datang mendukung dan menyokong, membisikkan tipu-tipu muslihat. Sebab para penyokong itu, memiliki cita-cita yang sama dengan yang disokong: berkuasa. Berkuasa atau mendapatkan “jatah kekuasaan”. Ketika kalah, para penyokong itu berlarian lintang-pukang menyelamatkan diri masing-masing. Atau berbalik; mengabdi pada pihak yang menang. Para brutus itu punya riwayat yang panjang dalam tiap-tiap bangunan kekuasaan, riwayat kaum penjilat yang tampil sebagai sang penyelamat. Sejak zaman sebelum Masehi sampai zaman jatuhnya Orba—kita ingat, yang ditinggalkan para jenderal dan pembantu-pembantunya yang dingin, angker, dan menakutkan.

Sejarah lalu ditegakkan dari kepedihan atas suatu kehilangan. Agar manusia tidak beriman pada dunia. Sebab pastilah dunia akan berkhianat. Politik—salah satu yang paling kentara sebagai apa yang disebut dunia itu, dalam khazanah keilmuan Islam kuno (salaf) ditetapkan sebagai yang duniawi (yang menipu). Bukan yang ukhrawi (yang sejati). Banyak orang sakit jiwa (secara harfiah maupun seolah), karena beriman pada yang menipu itu.

Dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, sejatinya bukan pemisahan. Meski khazanah Islam memandang dan memosisikan politik sebagai yang duniawi, tapi ia tak pernah mengutuk dunia. Ia hanya mengingatkan, agar orang mawas diri di dalam urusan tersebut. Ketidakhati-hatian dalam politik, membuat orang kehilangan jati diri kemanusiaannya. Ketika kemanusiaan musnah atau diinjak-injak demi sebuah kekuasaan yang duniawi itu, pertanda celakalah ia dalam wilayah yang sejati (ukhrawi). Itu setidaknya yang melandasi pikiran Romo Mangunwijaya, bahwa baginya ada “politik nurani” yang wajib hadir sebagai penyeimbang terhadap “politik kekuasaan”. Bagi Gus Dur, kemanusiaan harus berada di atas segala-galanya dalam politik praktis. Politik cuma sarana, sebagaimana pula agama. Tetapi sebagai sarana, ia amat gampang menjadi Tuhan. Dalam pergulatannya, manusia bermain-main terlalu jauh dengan api ambisinya yang sangat mematikan. Lalu menyembah-nyembah sang pujaan.

Di situ seolah ada keretakan antara teologi dan politik. Atau memang retakan yang niscaya. Tatkala agama dibawa-bawa dalam politik, kita pun mengerti, betapa itu amat menjijikkan, yang suci direndahkan jadi pendorong ambisi manusia yang rendah. Dan itu berbahaya! Orang berbenturan dan membenci atas keyakinan yang tak sejati, yang bagi Kawan Ali Karamallah; ialah yang ingkar dan membodohkan. Orang tak sadar berada atau sedang bermain dalam sebuah permainan yang sebenarnya lekas selesai. Tapi meninggalkan jejak luka yang panjang, yang tak mudah dilupakan.

Hegel mengandaikan hubungan antara tuan dan budak. Seorang budak sejatinya tuan, jika ia memakai akal budinya untuk melayani, menerima nasehat, dan kritik. Seorang tuan sesungguhnya budak, jika tak memakai akal budinya melayani, anti kritik, dan keras kepala. Namun apa yang diandaikan Hegel, hari ini tak segamblang itu. Seorang tuan tak dapat dipastikan membudak. Atau seorang budak tak bisa dipastikan menjelma tuan. Keadaan memang tak selalu baik-baik saja. Melainkan keadaan pasti akan selalu berubah-ubah saja.

Tatkala kekuasaan lepas atau tak dapat diraih seseorang (tuan), para budak akan meninggalkannya sendirian. Kesetiaan hanya pemanis lidah para budak itu. Mereka patuh hanya pada tuan, siapa pun sang tuan, dari bangsa iblis sekalipun. Apakah hari ini yang menjadi tuan adalah orang lain atau yang dulu adalah musuhnya, bagi para budak, itu tidak penting.

“Dan siapa yang beriman pada dunia, dunia akan menghancurkannya,” ujar Kawan Ali, sahabat Nabi Muhammad yang nyaris seluruh hidupnya mendampingi Sang Rasul dalam masa-masa yang berat. Itulah segaris sabda. Sebentuk pengakuan dari suatu pengalaman politik yang begitu panjang, yang tak mudah. Juga segaris kemuraman yang begitu dalam. Dan cenderung diam.

Dalam lagunya yang mashur, “Sumbang” (1983), Iwan Fals menyebut para politisi sebagai “setan-setan politik”. Setan-setan politik tersebut, datang hanya mencekik. Peduli amat hidup sedang paceklik. Tetap saja mencekik, katanya.

Dalam fiksinya berjudul “Godlob”, Danarto mengolok perbuatan keji “setan politik” itu.

Syahdan di akhir perang, seorang bapak tega membunuh anaknya. Menggendong mayat anaknya itu ke kota. Ia mengumumkan, sang anak telah tewas sebagai pahlawan. Demi sebuah pengakuan politik, sang bapak dalam “Godlob” Danarto yang mistis, membunuh anaknya sendiri. Itulah pengorbanan demi bangsa dan negara.

Politik selalu membutuhkan pahlawan untuk dipuja dan disembah. Juga membutuhkan pengkhianat untuk dikutuk—pun sebagai pembanding, guna meneguhkan yang telah dipahlawankan. Dan seorang pahlawan tak boleh hidup. Ia harus mati sebagai sang legenda, sebagai mitos yang diciptakan atas suatu kepentingan. Sehingga orang memuja namanya, mengenang hidup dan keluarganya, membangun monumen, membuat penghormatan dan penghargaan sebagai pembela rakyat jelata, pembela bangsa dan negara. Alangkah fantastisnya! Alangkah mengharukannya.

Bagi Danarto, pahlawan tak boleh turun dari langit. Pahlawan harus didesain menurut suatu kepentingan politik, sebagai sesembahan. Politik lebih baik merawat benda bersejarah dalam museum, daripada merawat pahlawan hidup yang sudah uzur, ketinggalan zaman, dan tua bangka. Pahlawan-pahlawan hidup yang uzur itu hanya sandungan bagi politik yang melaju tersengal-sengal. Mereka akan selalu hadir sebagai patriot, yang dengan cerewet memprotes ketidak-becusan generasinya.

Maka setelah perang usai—atau setelah pemungutan suara selesai, setelah segala pergulatan politik beres pada satu babak tertentu, yang menghasilkan siapa pun berkuasa dan bagaimanapun keadaan yang dikuasainya, pahlawan harus mati. Atau dibuang. Kemerdekaan atau pencapaian politik di atas segala-galanya, mustahil dikenang dan dirayakan tanpa pahlawan yang tewas, tanpa pahlawan yang terbuang. Pahlawan atau penolong itu, cukup dikenang jasa-jasanya. Disucikan dan disakralkan. Tapi ia tak boleh hadir dalam kesibukan kekuasaan yang sedang berlangsung. Pahlawan cuma dibutuhkan sebagai legitimasi yang didesain atau dibentuk sedemikian rupa menjadi mitos-mitos atas keberlangsungan suatu kekuasaan. Dan atas para pahlawan yang tewas atau yang terbuang itulah, kita dapat mengheningkan cipta, mengucap doa, mengenang masa lalu, merindukan saat-saat indah bersamanya, memutar kembali jejak-jejak hidupnya pada sebidang layar, meneteskan air mata sedih yang mengharu biru.

Dalam cerita pendek “Godlob” yang menampakkan suasana absurd itu, agaknya Danarto, sastrawan agung ini, dengan fiksinya mengolok-olok kebusukan hidup. Dan politik yang keji. Sang bapak yang membunuh anak kandungnya sendiri demi terlahirnya seorang pahlawan perang gagah berani, yang harum mewangi, bertanya seolah pakai akal sehat. Tapi sinis. Apa beda seorang penyair dan politikus? Tanyanya.

Orang terluka yang datang pada politikus, akan dipukul lukanya. Lalu ia berlari jauh membawa luka itu. Jika orang terluka datang pada seorang penyair, luka itu dielus-elus dengan kata-kata manis membunga indah melayang-layang sayang. Hingga yang terluka tak merasa sedang terluka. Atau melupakan lukanya. Penyair dan politikus tak pernah bisa menyembuhkan luka. Dan kita tahu, Danarto tidak menulis ceritanya yang mashur tersebut di zaman android. Pada zaman android, bahkan politikus pun membuat puisi.

Politikus tak pernah menyembuhkan luka. Sebagaimana penyair, tak dapat mengobati luka. Tak hanya itu, bahkan agamawan dan para tukang khotbah, pun tak. Mereka hanya membacakan ayat Tuhan. Yang terluka pun merasa tenang, terhibur, sehingga mengabaikan lukanya. Tapi luka tetap saja membusuk. Tak pernah terobati.

“Memburu kala haru dengan cara main kayu. Tinggalkan bekas biru, lalu pergi tanpa ragu,” ujar lagu Iwan Fals. Ada “maling teriak maling”, katanya. Licik. Main “tikam dari belakang”, lantas “mencari kambing hitam”. Ia “menjilat” dan “menghasut”, “memperkosa hak-hak” (Iwan Fals, “Sumbang”, 1983).

Tapi di mana suara-suara itu? Suara Pemilu dan suara hati, keduanya tak pernah konkret, tak pernah nyata-nyata terlihat mata manusia, tak pernah pula bisa dipegang tangan manusia seperti manusia memegang sepucuk senjata. Tatkala suara Pemilu dan suara hati itu dihitung atau diperhitungkan, yang terjadi kenapa harus kegaduhan dan keributan? Dari seberang sana, menjawab, bahwa keadaan memang tak pernah dan tak akan selalu baik-baik saja, juga tak pernah senantiasa buruk-buruk saja. Melainkan keadaan—dan itu pasti, selalu berubah-ubah saja. Seperti hati dan pikiran manusia. Seperti nasib kekuasaan, dan mereka yang ditinggalkan.

Tembokrejo, 19-2-2024.

*Penyair dan esais, Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *